Seputar Hukum Puasa Ramadhan

At Tauhid edisi VI/31
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Telah kita ketahui bersama bahwa puasa Ramadhan adalah bagian dari rukun Islam, sehingga bangunan Islam pun bisa tegak dengan adanya salah satu rukun ini. Bukti wajibnya puasa disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Puasa ramadhan ini diwajibkan bagi setiap muslim, berakal, sudah baligh, dalam keadaan sehat dan dalam keadaan mukim.
Pada edisi kali ini, buletin At Tauhid akan mengangkat beberapa hal yang berkaitan dengan hukum puasa Ramadhan. Semoga bermanfaat.
Syarat Sah dan Rukun Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[1] (1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. (2) Berniat.
Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[2]
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati[3]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[4] Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[5]
Niat puasa harus diperbaharui setiap harinya dan harus diniatkan sebelum masuk waktu Shubuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[6]
Adapun rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[7]. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Sunnah-Sunnah Puasa
1. Mengakhirkan sahur. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”[8] Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh[9] dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”.[10]
2. Menyegerakan berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”[11]
3. Berdo’a ketika berbuka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.”[12] Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca do’a, “Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)”[13]
Adapun do’a berbuka, “Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka); Mula ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan “wa bika aamantu” adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.[14] Sehingga cukup do’a shahih yang kami sebutkan di atas (dzahabazh zhomau …) yang hendaknya jadi pegangan dalam amalan.
5. Memberi makan pada orang yang berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”[15]
6. Lebih banyak berderma dan beribadah di bulan Ramadhan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak lagi melakukan kebaikan di bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak sedekah, berbuat baik, membaca Al Qur’an, shalat, dzikir dan i’tikaf.”[16]
Pembatal-Pembatal Puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja. Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[17].
2. Muntah dengan sengaja. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”[18]
3. Haidh dan nifas. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[19] Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[20]
4. Keluarnya mani dengan sengaja. Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ (Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”[21]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[22]
5. Jima’ (bersetubuh) di siang hari. Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Adapun wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria. Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut: a) membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat, b) jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, c) jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.
Beberapa Hal yang Dibolehkan Ketika Puasa
1. Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub. Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.”[23]
2. Bersiwak ketika berpuasa. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak.”[24]
Adapun menggunakan pasta gigi, lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakannya.[25]
3. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.”[26]
4. Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya mani. Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar mani.[27] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani”.[28]
5. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940). Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[29]
6. Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.”[30]
7. Bercelak dan tetes mata. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa.” [31]
8. Mandi dan menyiramkan air di kepala untuk membuat segar. Dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata, “Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. ”[32]
9. Menelan dahak. Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak[33] tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[34]
Demikian sajian singkat dari buletin At Tauhid seputar hukum puasa Ramadhan. Semoga bermanfaat. [Lihat pembahasan selengkapnya di www.muslim.or.id. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal]
_____________
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[2] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob.
[3] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
[4] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[5] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[6] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
[8] HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095.
[9] Yang dimaksudkan dengan adzan di sini adalah adzan kedua yang dilakukan oleh Ibnu Ummi Maktum, sebagai tanda masuk waktu shubuh atau terbit fajar (shodiq). (Lihat Fathul Bari, 2/54)
[10] HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097.
[11] HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098, dari Sahl bin Sa’ad.
[12] HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[13] HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14] Mirqotul Mafatih, 6/304.
[15] HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192, dari Zaid bin Kholid Al Juhani. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[16] Zaadul Ma’ad, 2/25.
[17] Lihat Bidayatul Mujtahid, hal. 267.
[18] HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[19] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.
[20] HR. Muslim no. 335.
[21] HR. Bukhari no. 1894.
[22] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52.
[23] HR. Bukhari no. 1926.
[24] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.
[25] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17/261-262.
[26] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.
[27] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13123 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/110-111.
[28] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/215.
[29] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/113-114.
[30] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 2/304. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa riwayat ini hasan.
[31] Majmu’ Al Fatawa, 25/234.
[32] HR. Abu Daud no. 2365.
[33] Dahak adalah sesuatu yang keluar dari hidung atau lendir yang naik dari dada.
[34] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9962 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/117.
Selengkapnya...